Manajemen Kurikulum Berbasis Sekolah (MBS)


Manajemen kurikulum dan program pengajaran merupakan bagian dari MBS. Manajemen kurikulum dan program pengajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran. Disamping itu, sekolah juga bertugas dan berwenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
            Pengembangan kurikulum muatan lokal telah dilakukan sejak digunakannya kurikulum 1984, khususnya di sekolah dasar. Pada kurikulum tersebut muatan lokal disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai. Muatan lokal lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994, muatan lokal tidak lagi disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai. Muatan lokal lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994, muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang studi, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksudkan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumberdaya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional, pembangunan regional, maupun pembangunan lokal sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya. Dengan adanya kurikulum yang bersifat desentralisasi atau MBS maka kelemahan tersebut dapat ditopang dengan kelebihan-kelebihan penerapan MBS.1
Nana Syaodih Sukmadinata menjabarkan manfaat dari penerapan kurikulum bersifat desentralisasi, di antaranya;
1.      Kurikulum akan sesuai dengan kebutuhna dan perkembangan masyarakat setempat.
2.      Kurikulum akan sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik kemampuan professional, financial, maupun manajerial.
3.      Disusun oleh guru-guru sendiri, serta
4.      Adanya motivasi kepala sekolah untuk mengembangkan diri dan mencari serta menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya.2
Kurikulum muatan lokal dalam MBS merupakan suatu perwujudan pasal 38 ayat I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang berbunyi, ” Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan”.
Adanya muatan lokal dalam kurikulum mempresentasikan pengakuan terhadap keunikan daerah dan lingkungan peserta didik yang harus diakomodasi dalam proses pendidikan. Dengan dilakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/1999 tentang Pemerintahan Daerah, hak dan tangungjawab daerah untuk mengelola daerahnya sendiri semakin besar. Dengan otonomi daerah, urusan-urusan yang selama ini ditangani oleh Pusat didesentralisasikan. Dengan titik berat pada tingkat kabupaten/kota. Dengan otonomi ini, hanya akan ada satu instansi pengelola pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten /kota. Sementara itu urusan yang menyangkut kurikulum dan pembinaan teknis edukatif masih ditangani oleh pusat.3
1.       E. Mulyasa, Manajemen Berbasis  Sekolah; Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Keenam, 2004), hlm. 40 
2.       Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Kedelapan, 2006), hlm. 201
3.       Dedi Supriyadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Hal. 200-201.

Kurikulum Pendidikan di Indonesia


Pembaharuan kurikulum merupakan keharusan dalam suatu sistem pendidikan agar pendidikan tetap relevan dengan tuntutan zaman. Sedemikian pentingnya kurikulum sehingga ada anggapan yang mengatakan bahwa suatu kurikulum disusun untuk diubah dan terus disempurnakan. Hanya dengan demikian, maka kurikulum akan selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman.
            Di Indonesia, dalam hampir 30 tahun terakhir telah dilakukan beberapa pembaharuan kurikulum sekolah, yaitu tahun 1975, 1984, 1994, 2004 (KBK), dan yang terakhir KTSP. Dengan digunakannya kurikulum baru, maka guru, siswa, orang tua, beserta sarana pendidikan perlu menyesuaikan diri. Fasilitas pendidikan perlu diperbaharui atau ditambah. Sehingga tidak jarang pula terjadi kejutan pada masyarakat. Itulah harga yang mesti dibayar untuk perubahan yang berskala besar dan luas sebagaimana dilakukan melalui pembaharuan kurikulum.
            Kurikulum harus selalu terbuka terhadap perubahan, yang artinya kurikulum harus terus dievaluasi dan dipantau selama penerapannya. Bahkan begitu suatu kurikulum mulai diluncurkan, penilaian dan pemantauan harus mulai dilaksanakan dan dilakukan secara terus menerus.1
            Begitu juga yang terjadi dalam pengelolaan kurikulum dan program pembelajaran dalam MBS. Hal ini senatiasa perlu mendapatkan perhatian yang intensif bagi semua pihak. Baik itu kepala sekolah, dewan sekolah, komite sekolah, guru, orang tua murid serta pihak-pihak yang terkait. Hal ini penting dilakukan agar pelaksanaannya benar-benar sesuai dengan yang diharapkan. Karena keterkaitan antara pengelolaan kurikulum dan program pembelajaran sangat erat. Apabila salah satu tidan sesuai dalam penerapannya, maka dapat dipastikan pelaksanaan pembelajarannya akan amburadul. Oleh karena itu diperlukan manajemen kurikulum yang mumpuni dan berkelanjutan.
1.      Dedi Supriyadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Hal. 173-175.